Buterfly
Sejarah
PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU–BUDHA DI INDONESIA
Munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh persentuhan kebudayaan antara daerah Nusantara dengan India sebagai tempat kelahiran kedua agama tersebut. Persentuhan kebudayaan ini terjadi sebagai salah satu akibat dari hubungan yang dilakukan antara orang-orang India dengan orang-orang yang ada di Nusantara, terutama karena daerah Nusantara merupakan jalur perdagangan strategis yang menghubungkan antara India dan Cina. Hubungan perdagangan yang semakin lama semakin intensif menimbulkan pengaruh terhadap masuknya pengaruh¬pengaruh kebudayaan India di Nusantara. Dengan kata lain, terjadi proses akulturasi antara kebudayaan India dengan kebudayaan Nusantara. Demikian juga dengan agama Hindu-Buddha menjadi agama yang dianut oleh penduduk di Nusantara dan menjadi pendorong muncul dan berkembangnya negara¬negara kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia.
A. TEORI TENTANG MASUK DAN BERKEMBANGNYA KEBUDAYAAN HINDU-BUDDHA DI INDONESIA
Untuk memahami bagaimana proses masuk dan berkembangnya agama dan ke¬budayaan Hindu-Buddha di Indonesia, kita perlu mengkaji pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut merupakan sebuah hipotesis (dugaan sementara) yang masih memerlukan pembuktian yang akurat. Akan tetapi hipotesis-hipotesis tersebut sangat berguna dalam memberikan pemahaman pada kita tentang bagaimana proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Tugas kamu untuk menganalisis lebih lanjut hipotesis-hipotesis tersebut, sehingga kamu dapat memilih salah satu hipotesis yang menurut kamu paling mendekati kebenaran. Tentu saja pilihan kamu harus dilandaskan pada argumentasi dan logika yang kuat disertai dengan data, fakta dan bukti-bukti yang akurat.
Berikut ini adalah hipotesis-hipotesis yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Hipotesis-hipotesis tersebut dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu teori kolonisasi dan teori arus balik.
1. Teori kolonisasi
Teori ini berusaha menjelaskan proses masuk dan berkembangnya agama dan
kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia dengan menekankan pada peran aktif dari
orang-orang India dalam menyebarkan pengaruhnya di Indonesia. Berdasarkan teori
ini, orang Indonesia sendiri sangat pasif, artinya mereka hanya menjadi objek
penerima pengaruh kebudayaan India tersebut. Teori kolonisasi ini terbagi dalam
beberapa hipotesis, yaitu sebagai berikut.
a. Hipotesis
Waisya
Menurut NJ. Krom, proses terjadinya hubungan antara India dan Indonesia karena
adanya hubungan perdagangan, sehingga orang-orang India yang datang ke
Indonesia sebagian besar adalah para pedagang. Perdagangan yang terjadi pada saat
itu menggunakan jalur laut dan teknologi perkapalan yang masih banyak
tergantung pada angin musim. Hal ini mengakibatkan dalam proses tersebut, para
pedagang India harus menetap dalam kurun waktu tertentu sampai datangnya angin
musim yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan. Selama mereka
menetap, memungkinkan terjadinya perkawinan dengan perempuan-perempuan pribumi.
Mulai dari sini pengaruh kebudayaan India menyebar dan menyerap dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Pendapat Krom tersebut didasarkan penelaahan dia pada proses Islamisasi di
Indonesia yang dilakukan oleh para pedagang Gujarat. Bukan hal yang mustahil,
proses masuknya budaya Hindu-Buddha di Indonesia dilakukan dengan cara yang
sama. Namun, teori ini memiliki kelemahan, yaitu para pedagang yang termasuk
dalam kasta Waisya tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang
umumnya hanya dikuasai oleh kasta Brahmana. Namun bila menilik peninggalan
prasasti yang dikeluarkan oleh negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia,
sebagian besar menggunakan bahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa. Dengan
demikian, timbul pertanyaan: Mungkinkah para pedagang India mampu membawa
pengaruh kebudayaan yang sangat tinggi ke Indonesia, sedangkan di daerahnya
sendiri kebudayaan tersebut hanya milik kaum Brahmana? Selain itu, terdapat
kelemahan lain dalam hipotesis ini yaitu dengan melihat peta persebaran
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia yang lebih banyak berada di
pedalaman. Namun apabila pengaruh tersebut dibawa oleh para pedagang India,
tentunya pusat kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha akan lebih banyak berada di
daerah pesisir pantai.
b. Hipotesis
Ksatria
Ada tiga ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai proses penyebaran agama
dan kebudayaan Hindu-Buddha dilakukan oleh golongan ksatria, yaitu sebagai
berikut.
1) C.C Berg
C.C. Berg mengemukakan bahwa golongan yang turut menyebarkan kebudayaan
Hindu-Buddha di Indonesia adalah para petualang yang sebagian besar berasal
dari golongan Ksatria. Para Ksatria ini ada yang terlibat konflik dalam masalah
perebutan kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para Ksatria ini
sedikit banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku yang
bertikai. Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang
dinikahkan dengan salah seorang putri dari kepala suku yang dibantunya. Dari
perkawinannya ini memudahkan bagi para Kesatrian untuk menyebarkan tradisi
Hindu Buddha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Berkembanglah tradisi
Hindu-Buddha dalam masyarakat Indonesia.
2) Mookerji
Dia mengatakan bahwa golongan Ksatria (tentara) dari India yang membawa
pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia. Para Ksatria ini kemudian
membangun koloni-koloni yang akhirnya berkembang menjadi sebuah kerajaan. Para
koloni ini kemudian mengadakan hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di
India dan mendatangkan para seniman yang berasal dari India untuk membangun
candi-candi di Indonesia.
3) J.L Moens
Dia mencoba menghubungkan proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia
pada awal abad ke-5 dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama.
Perlu diketahui bahwa sekitar abad ke-5, banyak kerajaan-kerajaan di India
Selatan yang mengalami kehancuran. Ada di antara para keluarga kerajaan
tersebut, yaitu para Ksatrianya yang melarikan diri ke Indonesia. Mereka ini
selanjutnya mendirikan kerajaan di kepulauan Nusantara.
Kekuatan hipotesis Ksatria terletak pada kenyataan bahwa semangat berpetualang
pada saat itu umumnya dimiliki oleh para Ksatria (keluarga kerajaan). Sementara
itu, kelemahan hipotesis yang dikemukakan oleh Berg, Moens, dan Mookerji yang
menekankan pada peran para Ksatria India dalam proses masuknya kebudayaan India
ke Indonesia terletak pada hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1) Para Ksatria tidak menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa; 2) Apabila
daerah Indonesia pernah menjadi daerah taklukkan kerajaan¬kerajaan India,
tentunya ada bukti prasasti (jaya prasasti) yang menggambarkan penaklukkan
tersebut. Akan tetapi, baik di India maupun Indonesia tidak ditemukan prasasti
semacam itu. Adapun prasasti Tanjore yang menceritakan tentang penaklukkan
kerajaan Sriwijaya oleh salah satu kerajaan Cola di India, tidak dapat dipakai
sebagai bukti yang memperkuat hipotesis ini. Hal ini disebabkan penaklukkan
tersebut terjadi pada abad ke-11 sedangkan bukti-bukti yang diperlukan harus
menunjukkan pada kurun waktu yang lebih awal.
c. Hipotesis
Brahmana
Hipotesis ini menyatakan bahwa tradisi India yang menyebar ke Indonesia dibawa
oleh golongan Brahmana. Pendapat ini dikemukan oleh JC.Van Leur. Berdasarkan
pada pengamatannya terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan¬kerajaan yang
bercorak Hindu-Buddha di Indonesia, terutama pada prasasti¬prasasti yang
menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa, maka sangat jelas itu adalah
pengaruh Brahmana. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa kaum Brahmanalah yang
menguasai bahasa dan huruf itu, sehingga pantas jika mereka yang memegang
peranan penting dalam proses penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di
Indonesia.
Akan tetapi, bagaimana mungkin para Brahmana bisa sampai ke Indonesia yang
terpisahkan dengan India oleh lautan. Dalam tradisi agama Hindu terdapat
pantangan bagi kaum Brahmana untuk menyeberangi lautan, sehingga hal ini
menjadi kelemahan hipotesis ini.
2. Teori Arus Balik
Pendapat yang dikemukakan tersebut di atas mendapat kritikan dari
F.D.K Bosch. Adapun kritikan yang dikemukakannya adalah sebagai berikut.
a. Berdasarkan pada peninggalan-peninggalan yang ada, ternyata teori kolonisasi
tidak mempunyai bukti yang kuat. Untuk hipotesa Waisya, tidak terbukti bahwa
kerajaan awal di Indonesia yang bercorak Hindu-Buddha ditemukan di pesisir
pantai, melainkan terletak di pedalaman. Kritikan untuk hipotesa Ksatria,
ternyata tidak ada jaya prasasti yang menyatakan daerah atau kerajaan yang ada
di Indonesia pernah ditaklukkan atau dikuasai oleh para Ksatria dari India.
b. Bila ada perkawinan antara golongan Ksatria dengan putri pribumi dari
Indonesia, seharusnya ada keturunan dari mereka yang ditemukan di Indonesia.
Pada kenyataannya, hal itu tidak ditemukan.
c. Dilihat dari hasil karya seni, terdapat perbedaan pembangunan antara
candi-candi yang dibangun di Indonesia dengan candi-candi yang dibangun di
India.
d. Kritikan yang lain adalah dilihat dari sudut bahasa. Bahasa Sanskerta hanya
dikuasai oleh para Brahmana, tetapi kenapa bahasa yang digunakan oleh
masyarakat pada waktu itu adalah bahasa yang digunakan oleh kebanyakan orang
India.
Selanjutnya,
F.D.K Bosch punya pendapat lain. Teori yang dikemukakan oleh Bosch ini dikenal
dengan teori Arus Balik. Menurut teori ini, yang pertama kali datang ke
Indonesia adalah mereka yang memiliki semangat untuk menyebarkan Hindu-Buddha,
yaitu para intelektual yang ikut menumpang kapal-kapal dagang. Setelah tiba di
Indonesia, mereka menyebarkan ajarannya. Karena pengaruhnya itu, ada di antara
tokoh masyarakat yang tertarik untuk mengikuti ajarannya tersebut. Pada
perkembangan selanjutnya banyak orang Indonesia sendiri yang pergi ke India
untuk berkunjung dan belajar agama Hindu-Buddha di India. Sekembalinya di
Indonesia, merekalah yang mengajarkannya kepada masyarakat Indonesia yang lain.
Bukti-bukti dari pendapat di atas adalah adanya prasasti Nalanda yang
menyebutkan bahwa Balaputradewa (raja Sriwijaya) telah meminta kepada raja di
India untuk membangun wihara di Nalanda sebagai tempat untuk menimba ilmu para
tokoh dari Sriwijaya. Permintaan raja Sriwijaya itu ternyata dikabulkan. Dengan
demikian, setelah para tokoh atau pelajar itu menuntut ilmu di sana, mereka
balik ke Indonesia. Merekalah yang selanjutnya menyebarkan pengaruh
Hindu-Buddha di Indonesia.
B. BENTUK-BENTUK KEBUDAYAAN HINDU- BUDDHA YANG MASUK KE INDONESIA
Masuknya
kebudayaan India ke Indonesia telah membawa pengaruh terhadap perkembangan
kebudayaan di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sebelumnya memiliki kebudayaan
asli, banyak mengadopsi dan mengembangkan budaya India dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, masyarakat tidak begitu saja menerima budaya-budaya baru
tersebut. Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses penyesuaian dengan
kebudayaan yang ada di Indonesia yang disebut dengan proses akulturasi
kebudayaan.
Dalam bidang agama juga lahir sinkretisme, yaitu perpaduan antara agama
Hindu-Buddha dengan kepercayaan yang telah ada dan berkembang di masyarakat
Indonesia pada saat itu. Sehingga agama Hindu-Buddha yang dianut oleh bangsa
Indonesia pada aman kerajaan-kerajaan sangat berbeda dengan agama Hindu-Buddha
yang ada di India. Masuknya agama Hindu dan Buddha tidak serta merta
menghilangkan unsur budaya lama yang telah berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Salah satu contoh yang sangat mencolok dalam kehidupan masyarakat
Hindu di Indonesia misalnya dalam sistem kasta. Sistem kasta di Indonesia yang
mengadopsi dari agama Hindu tidak sama dengan sistem kasta yang berkembang dari
tanah kelahiran agama tersebut yaitu India. Baik dari ciri-ciri maupun
keketatannya tidak menggambarkan keadaan seperti sistem kasta di India. Bangsa
Indonesia melaksanakan teori tentang kasta, tetapi tidak memindahkan wujudnya
seperti yang berkembang di India, melainkan disesuaikan dengan kondisi
masyarakat yang sudah berlaku sebelumnya.
Beberapa unsur kebudayaan yang berkembang pada aman kerajaan Hindu-Buddha
antara lain, seni bangunan, seni ukir, seni sastra, dan seni patung. Salah satu
hasil seni bangunan yang paling penting dalam perkembangan seni bangunan di
Indonesia adalah candi. Demikian juga halnya dalam seni pembuatan candi yang
merupakan pengaruh dari India, akan tetapi dalam penerapannya menggunakan
unsur-unsur budaya yang telah berkembang sebelumnya di tanah Indonesia.
Pembuatan candi yang secara teoritis menggunakan dasar-dasar yang tercantum
dalam kitab Silpasastra akan tetapi pada tahap pelaksanaan dan hasilnya
memperlihatkan corak budaya asli Indonesia. Silpasastra ialah sebuah kitab
pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan
bangunan.
Pembuatan
candi di India selalu menunjukkan fungsinya yang utama yaitu sebagai tempat
peribadatan. Sementara candi-candi yang terdapat di Indonesia tidak hanya
difungsikan sebagai tempat peribadatan tetapi juga tempat pemakaman raja atau
orang-orang yang dimuliakan. Hal ini tampaknya dipahami oleh masyarakat
Indonesia bahwa kata candi berasal dari nama Durga sebagai Dewi Maut yaitu
Candika. Dari kata Candika menunjukkan bahwa candi merupakan tempat untuk
memuliakan orang yang telah meninggal, khususnya untuk para raja dan
orang-orang terkemuka.
Terdapat perbedaan fungsi candi antara agama Hindu dan Buddha. Dalam agama
Hindu, candi adalah tempat penguburan abu jena ah. Di Bali upacara pembakaran
mayat dinamakan Ngaben. Di dalam candi Hindu biasanya terdapat patung-patung
dari para penguasa (raja) atau orang-orang terkenal yang dijelmakan sebagai
dewa. Dalam agama Buddha, candi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Arca yang
ada dalam candi Buddha bukanlah arca perwujudan dari raja.
Candi-candi yang bercorak agama Hindu-Buddha banyak ditemukan di Pulau Jawa,
Sumatra, Kalimantan, dan Bali.
1. Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta
Di Jawa Tengah dan Yogyakarta banyak ditemukan candi, baik yang bercorak Hindu
maupun Buddha, di antaranya sebagai berikut.
a. Candi Borobudur terletak di desa Budur, Magelang. Candi ini bercorak Buddha
dan didirikan oleh keluarga Syailendra pada aman Mataram Lama. Bentuk candi
Borobudur yang berupa punden berundak-undak menggambarkan adanya akulturasi
antara budaya India dengan budaya asli Indonesia dari aman megalithikum.
Berdasarkan ajaran Buddha Mahayana, candi Borobudur merupakan
Dasya-bodhisatwa-bhumi, artinya tempat mencapai kebuddhaan melalui sepuluh
tingkat bodhisatwa. Borobudur terdiri atas sepuluh tingkat yang terbagi dalam
tiga bagian yaitu kamadhatu (merupakan tingkatan paling rendah atau disebut
kaki candi, pada tingkatan manusia masih terpengaruh oleh keduniawian),
Rupadhatu (merupakan bagian lorong-lorong dengan dinding-dinding yang penuh
dengan hiasan dan relief, pada tingkat ini manusia masih terikat pada bentuk
keduniawian, tetapi telah insyaf untuk mencari kebenaran), A-rupadhatu (bagian
ini terdiri atas lantai yang bulat, di sini terdapat 72 stupa dan stupa induk
dipuncaknya yang sekaligus merupakan mahkota candi Borobudur. Hal ini
menggambarkan manusia telah dapat membebaskan diri sama sekali dari nafsu
keduniawian dan hanya satu keinginan, yaitu mencapai moksa).
b. Candi Mendut dan candi Pawon terletak tidak jauh dari candi Borobudur. Kedua candi ini bercorak Buddha dan merupakan candi tiga serangkai dengan candi Borobudur. Ketiga candi ini terletak pada satu garis lurus, hal ini sengaja dilakukan berdasarkan ajaran Buddha Mahayana. Menurut ajaran agama Buddha Mahayana, untuk mencapai tujuan terakhir (moksa), yaitu mencapai kedudukan sebagai Buddha harus melalui jalan secara bertahap. Tahap-tahap tersebut terdiri atas dua bagian yaitu Dasyabodhisatwabhumi disebut tingkat lokattara (tingkat di atas dunia), sebelum sampai ke tingkat lokattara lebih dahulu harus menjalani tingkat persiapan. Tingkat persiapan tersebut terdiri atas dua tahap pula, yaitu Sambharamarga dan Prayogamarga. Kedua tahap ini merupakan tahap kehidupan di dunia atau laukika. Jadi dari paham tersebut dapat diterangkan bahwa candi Borobudur yang bersifat lokattara dibangun di atas bukit, sedangkan candi Mendut dan candi Pawon yang bersifat laukika dan masing masing menggambarkan Sambharamarga dan Prayogamarga dibangun di atas permukaan bumi (daerah pedataran).
c. Candi Prambanan dikenal pula dengan nama Candi Lorojonggrang, bercorak Hindu dan terletak di desa Prambanan. Relief candi Prambanan mengambil kisah Rama dari kitab Ramayana. Relief ini ditatahkan pada dinding lorong di atas candi pertama, yang mengelilingi kaki candi kedua.
d. Kelompok candi Dieng, yang terdapat di Pegunungan Dieng letaknya sekitar 25 kilometer dari kota Wonosobo. Candi-candi ini bercorak Hindu. Di dataran tinggi Dieng terdapat beberapa buah candi antara lain Candi Bima, Candi gatotkaca, Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Subadra.
e. Candi lainnya adalah Candi Sukuh terletak di lereng Gunung Latu, Karang Anyar, Candi Sarjiwan terletak di selatan Prambanan, Candi Lumbung di selatan Candi Sewu, dan Candi Sari atau Candi Bendah lokasinya tidak jauh dari Candi Kalasan
2. Candi-candi
di Jawa Timur
Begitu pula halnya di Jawa Timur, banyak ditemukan candi, di antaranya sebagai
berikut.
a. Candi Badut terletak di Desa Dinoyo, sebelah barat laut Malang, merupakan
candi bercorak Hindu yang didirikan sekitar abad ke-8 M. Candi Singhasari
terletak di Desa Candinegoro sekitar 10 km dari kota Malang. Candi ini berasal
dari abad ke-14 dan dihubungkan dengan Raja Kertanegara dari Kerajaan
Singhasari.
b. Candi Jago (Candi Jajaghu) terletak 18 kilometer dari kota Malang. Candi ini merupakan candi bercorak Siwa-Buddha dan bentuknya berundak¬undak tiga buah serta di halaman candi terdapat beberapa patung Buddha. Candi ini dibangun pada masa Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari.
c. Candi Kidal terletak sekitar 7 kilometer sebelah tenggara dari candi jago. Candi ini merupakan bangunan suci untuk memuliakan raja Anusapati Raja Singhasari.
d. Candi Panataran terletak sekitar 11 kilometer dari kota Blitar. Candi Panataran merupakan kompleks candi yang terbesar di Jawa Timur dan merupakan candi Siwa.
e. Candi Jajawa (Candi Jawi) terletak di Gunung Welirang yang merupakan makam Raja Kertanegara.
f. Candi Singhasari yang terletak 10 kilometer dari kota Malang. Candi sebagai tempat pendarmaan Raja Kertanegara yang digambarkan sebagai Bhairawa (Siwa-Buddha)
g. Candi
Rimbi terletak di Desa Pulosari, Jombang yang merupakan peninggalan Kerajaan
Majapahit pada abad ke-14.
h. Candi Bajang Ratu yang merupakan gapura di daerah Trowulan bekas peninggalan
kerajaan Majapahit.
i. Candi Sumber Awan bercorak Buddha sebagai penghargaan atas kunjungan Raja
Hayam Wuruk ke daerah kaki Gunung Arjuna.
Apabila dibandingkan antara kelompok-kelompok candi yang terdapat di Jawa Tengah dengan Jawa Timur terdapat hal-hal yang sangat menarik. Kelompok candi di Jawa Tengah seperti Borobudur, Pawon, Mendut dan Prambanan yang sebagian besar merupakan peninggalan kerajaan Mataram adalah kelompok bangunan candi yang difungsikan sebagai tempat pemujaan keagamaan, baik Hindu ataupun Buddha. Sementara kelompok candi yang terdapat di Jawa Timur seperti candi Kidal, Jago, Panataran, merupakan candi yang difungsikan sebagai makam keluarga raja. Jumlah candinya lebih banyak tetapi wujudnya kecil-kecil bila dibandingkan dengan kelompok candi Borobudur atau Prambanan. Candi-candi yang terdapat di Jawa Timur merupakan peninggalan kerajaan Singhasari sampai Majapahit. Meskipun berwujud candi Siwa atau Buddha, tetapi pada hakikatnya adalah candi makam dan bukan untuk pemujaan Siwa atau Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa pada aman Singhasari sampai Majapahit telah terjadi pembauran antara kepercayaan asli yang berupa pemujaan arwah leluhur dengan kepercayaan Siwa dan Buddha.
3. Candi di
Jawa Barat
Di Jawa Barat ditemukan candi yang bercorak Siwa, yaitu candi Cangkuang
terletak di daerah Leles, Garut. Candi ini bentuknya sangat sederhana dan
diperkirakan berasal dari abad ke-8 Masehi. Selain itu, di daerah Jawa Barat
ditemukan beberapa arca dan bangunan suci, baik yang berbentuk bangunan teras
berundak, altar maupun percandian seperti Batu Kalde di Pantai Pangandaran,
Batujaya dan Cibuaya di Karawang, Astana Gede di Kawali dan Bojongmenje di
daerah Cicalengka, Kabupaten Bandung.
4.
Candi-candi di luar Jawa
Di luar Jawa terdapat juga candi-candi, seperti berikut ini.
a. Di pulau Sumatra terdapat beberapa candi seperti Candi Muara Jambi di Jambi
yang memperlihatkan corak Buddha Mahayana. Ada juga Candi Muara Takus di Riau
(terbuat dari batu bata dan terdiri atas beberapa bangunan stupa). Di komplek
Candi Muara Takus ada beberapa candi seperti Candi Tua, Candi Bungsu, dan Candi
Mahligai. Kompleks percandian (stupa) lainnya adalah Komplek Candi Padang Lawas
yang terletak di Sumatra Utara dan bercorak Siwaisme dan Budhisme. Di daerah
Tapanuli terdapat komplek Candi Gunung Tua yang bercorak Buddha.
b Di
Kalimantan Selatan ditemukan sebuah candi yaitu Candi Agung di daerah Amuntai.
c. Di Bali terdapat Candi Padas atau Candi Gunung Kawi yang terletak di desa
Tampaksiring Kabupaten Gianyar. Candi ini dipahatkan pada dinding batu yang
keras dan merupakan tempat pemujaan Raja Anak Wungsu putra terakhir dari Raja
Udayana.
Akulturasi
antara kebudayaan lokal yang berkembang sebelum masuknya pengaruh Hindu dengan
budaya agama Hindu jelas terlihat pada beberapa bangunan pura yang ditemukan di
Bali. Pengaruh aman megalithikum dengan budaya Hindu tampak terlihat dari
bangunan pura yang mirip dengan bangunan punden berundak-undak. Beberapa benda
yang berasal dari budaya megalithikum tetap dipelihara dan disandingkan dengan
patung-patung agama Siwa dan Buddha, misalnya beberapa peti mayat (sarcophagus)
sampai sekarang masih ditemukan di beberapa pura di Bali yang dianggap suci.
Bentuk akulturasi ini dapat kita lihat dari penyebutan atau pemberian nama
terhadap para dewa yang memperlihatkan unsur-unsur lokalitas wilayah Bali.
Misalnya nama Dewa Betara Da Tonta yang bisa kita temukan di daerah Trunyan,
Bali, memperlihatkan perpaduan nama unsur asli daerah Bali dengan sedikit
bahasa Sanskerta. Selain dari nama, bentuk Dewa ini memiliki kemiripan dengan
arca dari aman megalithikum.
Pada bentuk fisik bangunan candi di Indonesia, seperti candi Borobudur,
terdapat punden berundak-undak yang merupakan kebudayaan asli bangsa Indonesia
pada aman megalithikum. Hal ini menunjukkan adanya akulturasi antara kebudayaan
India dengan kebudayaan Indonesia asli dalam seni bangunan. Ukiran atau relief
yang ada pada dinding candi, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India, berupa
gambaran sehari-hari kehidupan manusia, ataupun cerita dari kitab Ramayana dan
Mahabharata.
Ditemukannya prasasti di Kalimantan Timur, adalah bukti pertama kali adanya
pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia. Prasasti itu menandakan ada Kerajaan Kutai
yang bercorak Hindu. Tulisan pada batu yang berbentuk yupa itu menggunakan
bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Pada perkembangan selanjutnya, ditemukan
juga prasasti-prasasti di daerah lain seperti Jawa dan Sumatra, peninggalan
Kerajaan Tarumanagara, Mataram Lama, dan Sriwijaya, yang semuanya mendapat
pengaruh unsur-unsur budaya India terutama unsur¬unsur Hindu-Buddha.
Pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia ini dapat dilihat dari
peninggalan-peninggalan sejarah dalam berbagai bidang, antara lain sebagai
berikut.
1. Bidang agama, yaitu berkembangnya agama Hindu-Buddha di Indonesia. Sebelum
masuk pengaruh India, kepercayaan yang berkembang di Indonesia masih bersifat
animisme dan dinamisme. Masyarakat pada saat itu melakukan pemujaan terhadap
arwah nenek moyang dan kekuatan-kekuatan benda-benda pusaka tertentu serta
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan alam. Dengan masuknya pengaruh Hindu-Buddha,
kepercayaan asli bangsa Indonesia ini kemudian berakulturasi dengan agama
Hindu-Buddha. Hal ini terbukti dari beberapa upacara keagamaan Hindu-Buddha
yang berkembang di Indonesia walaupun dalam beberapa hal tidak seketat atau
mirip dengan tata cara keagamaan yang berkembang di India. Kondisi ini
menunjukkan bahwa dalam tatacara pelaksanaan upacara keagamaan mengalami proses
sinkretisme antara kebudayaan agama Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli bangsa
Indonesia.
2. Bidang politik dan pemerintahan, pengaruhnya terlihat jelas dengan lahirnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Indonesia. Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu-Buddha di Indonesia tampaknya belum mengenal corak pemerintahan dengan sistem kerajaan. Sistem pemerintahan yang berlangsung masih berupa pemerintahan kesukuan yang mencakup daerah-daerah yang terbatas. Pimpinan dipegang oleh seorang kepala suku bukanlah seorang raja. Dengan masuknya pengaruh India, membawa pengaruh terhadap terbentuknya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia. Kerajaan bercorak Hindu antara lain Kutai, Tarumanagara, Kediri, Majapahit dan Bali, sedangkan kerajaan yang bercorak Buddha adalah Kerajaan Sriwijaya. Hal yang menarik di Indonesia adalah adanya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha yaitu Kerajaan Mataram lama.
3. Bidang pendidikan membawa pengaruh bagi munculnya lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun lembaga pendidikan tersebut masih sangat sederhana dan mempelajari satu bidang saja, yaitu keagamaan. Akan tetapi lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Hindu-Buddha ini menjadi cikal bakal bagi lahirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Bukti¬- bukti yang menunjukkan telah berkembangnya pendidikan pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, antara lain adalah:
a. Dalam
catatan perjalanan I-Tsing, seorang pendeta yang berasal dari Cina, menyebutkan
bahwa sebelum dia sampai ke India, dia terlebih dahulu singgah di Sriwijaya. Di
Sriwijaya I-Tsing melihat begitu pesatnya pendidikan agama Buddha, sehingga dia
memutuskan untuk menetap selama beberapa bulan di Sriwijaya dan menerjemahkan
salah satu kitab agama Buddha bersama pendeta Buddha yang ternama di Sriwijaya,
yaitu Satyakirti. Bahkan I-Tsing menganjurkan kepada siapa saja yang akan pergi
ke India untuk mempelajari agama Buddha untuk singgah dan mempelajari terlebih
dahulu agama Buddha di Sriwijaya. Berita I-Tsing ini menunjukkan bahwa
pendidikan agama Buddha di Sriwijaya sudah begitu maju dan tampaknya menjadi
yang terbesar di daerah Asia Tenggara pada saat itu.
b. Prasasti Nalanda yang dibuat pada sekitar pertengahan abad ke¬9, dan
ditemukan di India. Pada prasasti ini disebutkan bahwa raja Balaputradewa dari
Suwarnabhumi (Sriwijaya) meminta pada raja Dewapaladewa agar memberikan
sebidang tanah untuk pembangunan asrama yang digunakan sebagai tempat bagi para
pelajar agama Buddha yang berasal dari Sriwijaya. Berdasarkan prasasti
tersebut, kita bisa melihat begitu besarnya perhatian raja Sriwijaya terhadap
pendidikan dan pengajaran agama Buddha di kerajaannya. Hal ini terlihat dengan
dikirimkannya beberapa pelajar dari Sriwijaya untuk belajar agama Buddha
langsung ke daerah kelahirannya yaitu India. Tidak mustahil bahwa sekembalinya
para pelajar ini ke Sriwijaya maka mereka akan menyebarluaskan hasil
pendidikannya tersebut kepada masyarakat Sriwijaya dengan jalan membentuk
asrama-asrama sebagai pusat pengajaran dan pendidikan agama Buddha.
c. Catatan perjalanan I-Tsing menyebutkan bahwa pendeta Hui-Ning dari Cina
pernah berangkat ke Ho-Ling (salah satu kerajaan Buddha di Jawa). Tujuannya
adalah untuk bekerja sama dengan pendeta Ho-Ling yaitu Jnanabhadra untuk
menerjemahkan bagian terakhir kitab Nirwanasutra. Dari berita ini menunjukkan
bahwa di Jawa pun telah dikenal pendidikan agama Buddha yang kemudian menjadi
rujukan bagi pendeta yang berasal dari daerah lain untuk bersama¬sama
mempelajari agama dengan pendeta yang berasal dari Indonesia.
d. Pada prasasti Turun Hyang, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja
Airlangga menyebutkan tentang pembuatan Sriwijaya Asrama oleh Raja Airlangga.
Sriwijaya Asrama merupakan suatu tempat yang dibangun sebagai pusat pendidikan
dan pengajaran keagamaan. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Raja Airlangga
terhadap pendidikan keagamaan bagi rakyatnya dengan memberikan fasilitas berupa
pembuatan bangunan yang akan digunakan sebagai sarana pendidikan dan
pengajaran.
e. Istilah
surau yang digunakan oleh orang Islam untuk menunjuk lembaga pendidikan Islam
tradisional di Minangkabau sebenarnya berasal dari pengaruh Hindu-Buddha. Surau
merupakan tempat yang dibangun sebagai tempat beribadah orang Hindu-Buddha pada
masa Raja Adityawarman. Pada masa itu, surau digunakan sebagai tempat berkumpul
para pemuda untuk belajar ilmu agama. Pada masa Islam kebiasaan ini terus
dilajutkan dengan mengganti fokus kajian dari Hindu-Buddha pada ajaran Islam.
4. Bidang sastra dan bahasa. Dari segi bahasa, orang-orang Indonesia mengenal
bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia, seni sastra sangat berkembang terutama pada aman kejayaan kerajaan
Kediri. Karya sastra itu antara lain,
a. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang disusun pada masa pemerintahan Airlangga.
b. Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh disusun pada Zaman kerajaan
Kediri.
c. Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh disusun pada aman kerajaan Kediri.
d. Arjuna Wijaya dan Sutasoma, karya Mpu Tantular yang disusun pada Zaman
kerajaan Majapahit.
e. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca disusun pada aman kerajaan Majapahit.
f. Wretta Sancaya dan Lubdhaka, karya Mpu Tanakung yang disusun pada Zaman
kerajaan Majapahit.
5. Bidang
seni tari. Berdasarkan relief-relief yang terdapat pada candi¬candi, terutama
candi Borobudur dan Prambanan memperlihatkan adanya bentuk tari-tarian yang
berkembang sampai sekarang. Bentuk-bentuk tarian yang digambarkan dalam relief
memperlihatkan jenis tarian seperti tarian perang, tuwung, bungkuk, ganding,
matapukan (tari topeng). Tari-tarian tersebut tampaknya diiringi dengan gamelan
yang terlihat dari relief yang memperlihatkan jenis alat gamelan yang terbatas
seperti gendang, kecer, gambang, saron, kenong, beberapa macam bentuk kecapi,
seruling dan gong.
6. Seni relief pada candi yang kemudian menghasilkan seni pahat. Hiasan pada
candi atau sering disebut relief yang terdapat pada candi-candi di Indonesia
didasarkan pada cerita-cerita epik yang berkembang dalam kesusastraan yang
bercorak Hindu ataupun Buddha. Pemilihan epik sebagai hiasan relief candi
dikenal pertama kali pada candi Prambanan yang dibangun pada permulaan abad
ke-10. Epik yang tertera dalam relief candi Prambanan mengambil penggalan kisah
yang terdapat dalam cerita Ramayana. Hiasan relief candi Penataran pada masa
Kediri mengambil epik kisah Mahabharata. Sementara itu, kisah Mahabharata juga
menjadi epik yang dipilih sebagai relief pada dua candi peninggalan kerajaan
Majapahit, yaitu candi Tigawangi dan candi Sukuh.
7. Seni Arca dan Patung, sebagai akibat akulturasi budaya pemujaan arwah
leluhur dengan agama Hindu-Buddha maka beberapa keluarga raja diperdewa dalam
bentuk arca yang ditempatkan di candi makam. Arca¬arca dewa tersebut dipercaya
merupakan lambang keluarga raja yang dicandikan dan tidak mustahil termasuk di
dalamnya kepribadian dan watak dari keluarga raja tersebut. Oleh karena itu,
arca dewa tersebut sering diidentikkan dengan arca keluarga raja. Seni arca
yang berkembang di Indonesia memperlihatkan unsur kepribadian dan budaya lokal,
sehingga bukan merupakan bentuk peniruan dari India. Beberapa contoh raja yang
diarcakan adalah Raja Rajasa yang diperdewa sebagai Siwa di candi makam
Kagenengan, Raja Anusapati sebagai Siwa di candi makam Kidal, Raja
Wisnuwardhana sebagai Buddha di candi makam Tumpang, Raja Kertanegara sebagai
Wairocana Locana di candi makam Segala dan Raja Kertarajasa Jayawardhana
sebagai Harihara di candi makam Simping.
Patung-patung
dewa dalam agama Hindu yang merupakan peninggalan sejarah di Indonesia, antara
lain:
a. Arca batu Brahma.
b. Arca perunggu Siwa Mahadewa.
c. Arca batu Wisnu.
d. Arca-arca di Prambanan, di antaranya arca Lorojongrang.
e. Arca perwujudan Tribhuwanatunggadewi di Jawa Timur.
f. Arca Ganesa, yaitu dewa yang berkepala gajah sebagai dewa ilmu pengetahuan.
8. Seni pertunjukan, terutama seni wayang sampai sekarang merupakan salah satu bentuk seni yang masih populer di kalangan masyarakat Indonesia. Seni wayang beragam bentuknya seperti wayang kulit, wayang golek, dan wayang orang. Seni pertunjukan wayang tampaknya telah dikenal oleh bangsa Indonesia sejak aman prasejarah.
Pertunjukan
wayang pada masa ini selalu dikaitkan dengan fungsi magis¬religius yaitu
sebagai bentuk upacara pemujaan pada arwah nenek moyang yang disebut Hyang .
Kedatangan arwah nenek moyang diwujudkan dalam bentuk bayangan dari sebuah
wayang yang terbuat dari kulit. Lakon wayang pada masa ini lebih banyak
menceritakan tentang kepahlawanan dan petualangan nenek moyang, seperti
lakon-lakon “Dewi Sri” atau “Murwakala”. Pertunjukan wayang diadakan pada malam
hari di tempat¬tempat yang dianggap keramat. Pada masa Hindu-Buddha, kebudayaan
pertunjukan wayang ini terus dilanjutkan dan lebih berkembang lagi dengan
cerita-cerita yang lebih kaya.
Cerita-cerita yang dikembangkan dalam seni wayang kemudian sebagian besar
mengambil epik yang berkembang dari agama Hindu-Buddha terutama cerita Ramayana
dan Mahabharata. Meskipun demikian, tampaknya cerita yang dikembangkan dalam
seni pertunjukan wayang tidak seluruhnya merupakan budaya atau cerita yang
sepenuhnya berasal dari India. Unsur¬unsur budaya asli memberikan ciri
tersendiri dan utama dalam seni wayang. Hal ini terlihat dengan dimasukkannya
tokoh-tokoh baru yang kita kenal dengan sebutan Punakawan. Tokoh-tokoh
punakawan seperti Bagong, Petruk dan Gareng (dalam seni wayang golek disebut
Astrajingga atau Cepot, Dewala dan Gareng) tidak akan kita temukan dalam
cerita-cerita epik populer India seperti Ramayana dan Mahabharata, sebab
penciptaan tokoh-tokoh tersebut asli dari Indonesia.
Munculnya tokoh Punakawan ini untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Mpu
Panuluh yang hidup pada aman kerajaan Kediri. Dalam karya sastranya yang
berjudul Ghatotkacasraya, Mpu Panuluh menampilkan unsur punakawan yang
berjumlah tiga, yaitu Punta, Prasanta dan Juru Deh sebagai hamba atau abdi
tokoh Abhimanyu, putra Arjuna. Dalam karyanya tersebut, Mpu Panuluh masih
menggambarkan tokoh punakawan sebagai tokoh figuran yang kaku dan porsi cerita
terbesar masih dipegang oleh tokoh-tokoh utama.
Pada perkembangan selanjutnya tokoh punakawan ini menjadi tokoh penting dalam
seni pertunjukan wayang, sebab memberikan unsur humor dan lelucon yang dapat
membangun cerita wayang lebih menarik lagi. Dimasukkannya tokoh-tokoh punakawan
juga seakan-akan untuk menggambarkan hubungan antara bangsa India dengan
penduduk asli. Pembauran budaya asli dengan budaya Hindu-Buddha terlihat juga
pada pencampuradukan antara mitos-mitos lama dengan cerita-cerita baru dari
India. Misalnya dalam kitab Pustaka Raja Purwa menggambarkan dewa-dewa agama
Hindu yang turun ke bumi dan menjadi penguasa di tanah Jawa. Sang Hyang Syiwa
menjadi raja di Medang Kamulan, Sang Hyang Wisnu menggantikan kedudukan Prabu
Watu Gunung dengan gelar Brahma Raja Wisnupati.
9. Bidang seni bangunan merupakan salah satu peninggalan budaya Hindu-Buddha di
Indonesia yang sangat menonjol antara lain berupa candi dan stupa. Selain itu,
terdapat pula beberapa bangunan lain yang berkaitan erat dengan kehidupan
keagamaan, seperti: ulan dan satra merupakan semacam pesanggrahan atau tempat
bermalam para pe iarah; sima adalah daerah perdikan yang berkewajiban
memelihara bangunan suci di suatu daerah; patapan adalah tempat melakukan tapa;
sambasambaran yang berarti tempat persembahan; meru merupakan bangunan
berbentuk tumpang yang melambangkan gunung Mahameru sebagai tempat tinggal
dewa¬dewa agama Hindu.
Letak
geografis wilayah Indonesia yang sangat strategis merupakan salah satu faktor
penting yang menyebabkan terjadinya interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa
asing. Salah satu interaksi yang terjadi yaitu datangnya bangsa India ke
Indonesia. Dampak interaksi dengan bangsa India adalah masuknya pengaruh
kebudayaan dan agama Hindu-Buddha di Indonesia.
Terdapat berbagai pendapat tentang masuknya agama Hindu-Buddha di Indonesia.
Masuknya agama Hindu-Buddha di Indonesia menyebabkan banyak rakyat Indonesia
yang menganut agama Hindu-Buddha. Disamping masuknya agama Hindu-Buddha ke
Indonesia, masuk pula bentuk-bentuk kebudayaannya. Bentuk-bentuk kebudayaan
tersebut misalnya dalam bentuk seni bangunan seperti candi, patung atau arca,
seni sastra dan bahasa, seni relief, politik dan pemerintahan, serta bidang
pendidikan.
Hipotesis
Brahmana : suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan agama
Hindu-Buddha di Indonesia ialah golongan pendeta atau Brahmana
Hipotesis Ksatria : suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan
agama Hindu-Buddha di Indonesia ialah golongan bangsawan atau para raja.
Hipotesis Waisya : suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan agama
Hindu-Buddha di Indonesia ialah golongan pedagang.
Teori arus balik : suatu teori yang menjelaskan bahwa bangsa Indonesia ketika
menerima pengaruh Hindu-Buddha tidak bersikap pasif, tetapi bersikap aktif
yaitu banyak bangsa Indonesia yang pergi ke India untuk belajar agama
Hindu-Buddha, kemudian mereka kembali ke Indonesia dan menyebarkan ilmu yang
mereka peroleh dari India.
Teori kolonisasi : suatu teori yang menjelaskan tentang masuknya pengaruh India
di Indonesia yang menyatakan bahwa bangsa India sangat aktif dalam menyebarkan
agama Hindu-Buddha, sedangkan bangsa Indonesia bersikap pasif hanya sebagai
penerima saja.
20.47
|
Label:
Kebudyaan Hindu-Buddha,
Sejarah
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Total Tayangan Halaman
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
About Me
Label
- 2pm (2)
- fungsi menu dan ikon pada blogger (1)
- Fungsi menu dan ikon pada halaman Posting (1)
- Geografi (1)
- Hubungan Internasional (1)
- husband (1)
- Kebudyaan Hindu-Buddha (1)
- Kelompok sosial (1)
- Kependudukan (1)
- me (1)
- Memey (1)
- Mengenal Fungsi Gadget Blogger (1)
- Pkn (1)
- Sejarah (1)
- Sosiologi (1)
- The best (1)
- Web Desain (3)
Calender
!-end>!-my>
O'clock
!-end>!-local>
Blogger news
Blog Archive
Archives
Blogger templates
Popular Posts
Blog Archive
Pages
Seguidores
Music
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar